Nofendi, Hindra (2008) Persepsi hakim dan ulama Kabupaten Tapin terhadap penghitungan masa Iddah isteri yang dicerai suami. Skripsi, Syariah Dan Ekonomi Islam.

Preview	Text BAB I.pdf Download (222kB) | Preview
Preview	Text BAB IV.pdf Download (239kB) | Preview

ABSTRAK

Hindra Nofendi. 2008. Persepsi hakim dan ulama Kabupaten Tapin terhadap penghitungan masa Iddah isteri yang dicerai suami. Skripsi, Jurusan Ahwal As-Syakhsiyah, Fakultas Syariah. Pembimbing : (I) Sarmuji, M.Ag, (II) Diana Rahmi, S.Ag, MH. Penelitian ini mengemukakan tentang pendapat para hakim dan ulama di Kabupaten Tapin mengenai awal berlaku masa iddah isteri yang dicerai oleh suami. Permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah kapan awal penghitungan masa iddah isteri yang dicerai suami, apakah ikrar talak berlaku hanya ketika ikrar talak tersebut dilakukan dimuka sidang atau dimanapun saat suami mengucapkan ikrar talak. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) yang bersifat studi kasus, dengan meneliti 16 (enam belas) kasus mengenai awal berlaku masa iddah isteri yang dicerai oleh suami. Permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah kapan awal penghitungan masa iddah isteri yang dicerai suami, apakah ikrar talak berlaku hanya ketika ikrar talak tersebut dilakukan dimuka sidang atau dimanapun saat suami mengucapkan ikrar talak., Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berupa wawancara terhadap seluruh responden penganalisisan dengan mengacu kepada ekonomi Islam, sehingga diperoleh kesimpulan. Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 16 (enam belas) kasus yang diteliti dapat diketahui bahwa pada (kasus I-IX) terdapat kesamaan, yaitu Para hakim di Pengadilan Agama Rantau memiliki pendapat yang sama yaitu penentuan awal masa iddah isteri yang dicerai suami adalah sejak diputuskan atau ikrar talak yang dilakukan oleh suami di depan sidang perceraian memiliki kekuatan hokum dan mengikat serta memiliki konsekuensi hukum bagi kedua belah pihak yang bercerai. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Pendapat para hakim tersebut. Pendapat para hakim tersebut merujuk kepada pasal 39 PP no. 9 tahun 1975, PP.No. 9/25 pasal 18, UU No. 1/74 . 39 (1), Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 dan Kompilasi Hukum Islam yang merupakan sumber hukum yang berlaku di Pengadilan Agama. Adapun (kasus X-XVI) para ulama juga terjadi variasi pendapat sebagian besar menyatakan bahwa ikrar talak berlaku atau sah setelah suami menjatuhkan ikrar talak dimanapun berada (sekalipun diluar sidang peradilan Agama) serta tidak perlu melakukan pengulangan ikrar talak di muka pengadilan agama karena hal tersebut mengatakan hal tersebut tidak wajib, jika diucapkan maka talak menjadi 2 kali (talak 2). Sebagian ulama yang lain berpendapat seyogyanya mengikrarkan talak tersebut dimuka pengadilan Agama agar perceraian tersebut memiliki kekuatan hukum dan memudahkan untuk menyelesaikan perkara-perkara yang mengikuti setelah perceraian tersebut terjadi (jika tidak dapat didamaikan dimuka sidang pengadilan Agama) seperti pembagian harta waris, status anak serta beberapa kewajiban yang harus dijalankan baik bagi suami maupun isteri setelah terjadi perceraian. I’Anah, Tanwirul Qulub, Fiqih Sunnah, Kifayatul Akhyar, Ilmu Fiqh.

Actions (login required)

View Item