Ariyadi, Ariyadi (2022) Prinsip-Prinsip Kearifan Lokal Masyarakat Dayak dalam Pengelolaan Hutan di Kalimantan Tengah (Membangun Sinergi Hukum Adat, Hukum Islam dan Hukum Nasional dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup). Disertasi, Pascasarjana.

	Text PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN.pdf Download (356kB)
	Text AWAL.pdf Download (2MB)
	Text ABSTRAK.pdf Download (437kB)
	Text BAB I.pdf Download (395kB)
	Text BAB II.pdf Restricted to Repository staff only Download (709kB)
	Text BAB III.pdf Download (493kB)
	Text BAB IV.pdf Restricted to Repository staff only Download (882kB)
	Text BAB V.pdf Download (239kB)
	Text DAFTAR PUSTAKA.pdf Download (344kB)
	Text LAMPIRAN.pdf Download (188kB)

ABSTRAK

Deforestasi merupakan kegiatan penebangan kayu yang berskala besar sehingga mempercepat hutan dan alam mengalami kerusakan. Selain itu, kerusakan hutan dipengaruhi pula dengan adanya UU Cipta kerja yang lebih menekankan pengelolaan hutan pada investasi dari negara luar seperti hadirnya perusahaan tambang emas dan atau batu bara serta kebun kelapa sawit yang rata-rata milik masyarakat negara luar. Hal ini tentunya mengancam kesejahteraan masyarakatnya sendiri mengingat rata-rata kehidupan masyarakat suku Dayak Ngaju diambil dari hasil alam. Namun, dengan hadirnya UU Omnibus law yang memberlakukan denda terlebih dahulu dibandingkan hukuman, justru semakin menyudutkan masyarakat adat dan mempermudah pihak perusahaan. Pasalnya, dilihat dari kemampuan keuangan perusahaan bahwa nilai denda yang diberlakukan dianggap lebih ringan daripada biaya untuk membuka lahan dengan cara tanpa pembakaran hutan. Langkah yang diambil pemerintah ini justru memberatkan masyarakat adat sehingga masyarakat adat yang tidak mampu membayar denda, mau tidak mau harus menerima hukuman. Dalam hal ini pemerintah dianggap tidak komprehensif dalam mencermati kedudukan masyarakat adat dalam mengelola hutan sehingga banyak hal yang perlu dipahami oleh pemerintah terkait pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat adat. Pada dasarnya, masyarakat Dayak Ngaju, patuh dan taat pada aturan adat yang tentunya dapat menjaga keseimbangan hutan supaya tetap lestari. Konsepsi hutan dalam masyarakat adat Dayak Ngaju mengandung falsafah hidup yang menghubungkan kehidupan seluruh makhluk dari alam atas, alam darat, dan alam bawah. Masyarakat Dayak Ngaju juga berkeyakinan bahwa seluruh makhluk hidup yang ada di bumi memiliki peran masing-masing dan saling bersinergi dalam menjaga keteraturan, kebaikan dan keseimbangan alam yang sebut “pukung pahewan”. Sinergi yang diciptakan oleh masyarakat Dayak Ngaju bertujuan untuk saling menjaga dan menghormati seluruh makhluk di muka bumi. Dengan demikian seluruh makhluk di bumi sama-sama menjaga hutan dan alam agar terhindarnya dari banjir, longsor, dan kekeringan. Berdasarkan fakta pada umumnya bahwa masyarakat adat mampu bertahan dengan ataupun tanpa investasi dari aturan yang dilayangkan dalam aturan Omnibus Law. Kemudian dilihat dari fakta empiris, adanya ketidaksesuaian dan disharmoni norma dan implementasinya. Oleh karena itu, penelitian ini menjadi hal yang sangat mendesak untuk diteliti agar pemerintah mampu mencermati kedudukan masyarakat adat pada posisi yang tepat sehingga perlu dilakukan penelitian tentang sinergi hukum, yaitu: Bagaimana prinsip-prinsip kearifan lokal dalam pengelolaan hutan pada masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah? Bagaimana sinergi hukum adat, hukum Islam dan hukum nasional dalam pembangunan lingkungan hidup? Penelitian ini tidak hanya difokuskan pada penggalian data pustaka. Namun, diarahkan pula pada penggalian data lapangan untuk memperkuat data-data yang akan diteliti dari berbagai sumber dan informan. Dengan demikian penelitian ini kemudian diolah menggunakan metode kualitatif untuk mendeskripsikan dan memahami suatu realitas organisasi tertentu dan fenomena yang terjadi dari perspektif berbagai pihak yang terkait. Hasil penelitian dikalsifikasikan menjadi dua bagian. Pertama, tentang prinsip masyarakat Dayak Ngaju yang dikupas dari pukung pahewan menerapkan 6 prinsip dalam manajemen sumber hutan, yaitu: handel (kesinambungan); himba (keanekaragaman); sub arep (sistensi); mihing (organik); hadat (aturan ritual); dan jipen (hukum adat); dan kedua, ditemukan penggabungan dua kebijakan, yaitu Top Down dan Bottom Up dalam pembuatan undang-undang/peraturan daerah sehingga hukum nasional dalam peraturan perundang-undangan tidak hanya diterapkan pemerintah saja tetapi juga diawasi oleh masyarakat adat. Dengan memperhatikan kesesuaian prinsip-prinsip masyarakat adat dalam memelihara dan menjadikan mereka sebagai garda terdepan untuk menguatkan lingkungan hidup. Konklusinya, teori sinergi ini mencoba memformulasikan cara membentuk peraturan perundang-undangan sehingga dapat mengakomodasikan hukum nasional yang pembentukannya berdasar sinergi antara hukum adat dan hukum Islam (fikih bi’ah) yang melahirkan hukum nasional dengan memperhatikan berbagai aspek. Baik secara normatif maupun implementasinya dalam mengakomodasi semua kepentingan masyarakat adat, pemerintah maupun aspek agama.

Actions (login required)

View Item