Sairazi, Abdul Hafiz (2024) Studi Ihyâ’ al-Mawât Dalam Masyarakat Banjar Pada Abad XVIII dan XIX. Disertasi, Pascasarjana.
![]() |
Text
1 Pernyataan Keaslian Tulisan.pdf Download (469kB) |
![]() |
Text
2 Awal.pdf Download (1MB) |
![]() |
Text
3 Abstrak.pdf Download (294kB) |
![]() |
Text
4 Bab I Terbuka.pdf Download (710kB) |
![]() |
Text
5 Bab II Terbuka.pdf Restricted to Repository staff only Download (961kB) |
![]() |
Text
6 Bab III Terbuka.pdf Download (1MB) |
![]() |
Text
7 Bab IV Terbuka.pdf Restricted to Repository staff only Download (1MB) |
![]() |
Text
8 Bab V Terbuka.pdf Download (64kB) |
![]() |
Text
9 Daftar Pustaka.pdf Download (307kB) |
![]() |
Text
10 Lampiran.pdf Download (356kB) |
ABSTRAK
Peningkatan permukaan air mengancam daerah rawa. Sebagian lahan pertanian yang dulu bisa ditanami padi, sekarang terus terendam sehingga tidak bisa lagi ditanami. Pembangunan permukiman dan bangunan lainnya yang menguruk lahan rawa turut meningkatkan air. Hal ini berbanding terbalik dengan masa lalu dalam masyarakat Banjar. Pada abad XVIII, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari membuka lahan untuk permukiman dan membuat sungai untuk mengurangi adanya air agar lahan rawa bisa ditanami dan menjadi produktif. Pelaksanaan ihyâ’ al mawât pada masa lalu sebagai sebuah pranata hukum Islam/fikih perlu dikaji lebih jauh. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui (1) bentuk ihyâ’ al-mawât dalam masyarakat Banjar pada abad XVIII dan XIX berdasarkan pemikiran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari; (2) kontekstualisasi praktik ihyâ’ al-mawât dalam masyarakat Banjar pada abad XVIII dan XIX terhadap masa sekarang. Penelitian hukum normatif ini dilakukan dengan historical approach berupa mengkaji sejumlah literatur mengenai masalah terkait sesuai rumusan masalah dan tujuan penelitian. Untuk melengkapi bahan hukum, peneliti mewawancarai pihak yang dianggap mengetahui permasalahan yang diteliti. Observasi dilakukan untuk mengamati peninggalan yang masih ada. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ihyâ’ al-mawât oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dilakukan dengan: 1) membuka lahan baru di Dalam Pagar untuk perumahan, perkebunan/pertanian bahkan perikanan untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat, 2) membuat Sungai Tuan untuk menjadi terusan air, sehingga lahan yang semula tergenang air dapat ditanami dan menjadi persawahan yang subur, dan untuk menjadi media transportasi sungai yang bisa dilalui oleh kapal besar, sehingga masyarakat saat itu bisa memasarkan hasil pertaniannya hingga ke luar kerajaan. Masyarakat Banjar kemudian melakukan beberapa hal berikut yang kemungkinan besar mengikuti dan meneruskan apa yang telah dilakukan oleh Syekh Muhammad Arsyad sebelumnya, yaitu dengan: 1) membuka lahan di kawasan Dalam Pagar untuk keperluan tempat tinggal, pertanian dan perkebunan, 2) membuat kanal/tatah (anjir, handil, antasan dan saka) untuk keperluan pertanian, perkebunan dan transportasi. Kalangan istana pun mengikuti dan melanjutkan ihyâ’ al-mawât yang dilakukan oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, yaitu dengan lahirnya Undang-undang Sultan Adam, yang di antara isinya adalah hukum v pertanahan pada Pasal 17, 23, 26, 27, 28 dan 29. Dua pasal terakhir khusus mengatur ihyâ’ al-mawât. Ihyâ’ al-mawât abad XVIII tersebut memiliki korelasi dan implikasi dari dahulu hingga sekarang, yaitu: 1) pembukaan lahan untuk pemukiman, seperti semakin berkembangnya kawasan Dalam Pagar, 2) aktivitas pertanian/perkebunan makin dikembangkan, sepertinya adat mempelai laki-laki membawa bibit tanaman seperti bibit kelapa dan bibit pisang saat pernikahan untuk ditanam, 3) penataan air untuk pertanian (irigasi) berupa kanal atau terusan, yang dalam istilah Banjar disebut dengan tatah (anjir, handil, antasan, dan saka), 4) penataan air untuk mencegah banjir, 5) penataan lahan pemakaman, 6) meningkatnya kesejahteraan masyarakat melalui gerakan pertanian, 7) implikasi hukum yang muncul dari aktivitas ihyâ’ al-mawât, seperti: a) adanya hak memetik buah dipinggir jalan, hak memancing ikan pada lahan persawahan, tidak boleh ada larangan mengolah lahan kosong, lahan yang semula dapat dimiliki lewat ihyâ’ al-mawât akan hilang kepemilikannya jika dua musim tidak digarap, zakat 5% pertanian yang pengairannya diupayakan, kanal saka hanya bisa dimanfaatkan pemilik dan pembuatnya, b) harta perpantangan dan kewarisan, c) pembagian zakat dengan prioritas untuk mustahik miskin, d) pengangkatan mufti dan kadi, e) hal tersebut awal bagi adanya pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif
Item Type: | Disertasi |
---|---|
Subjects: | H Social Sciences > HC Economic History and Conditions |
Divisions: | Pascasarjana (Magister dan Dokter) > S3 Ilmu Syariah |
Depositing User: | Yoe Oden |
Date Deposited: | 04 Aug 2025 06:33 |
Last Modified: | 04 Aug 2025 06:33 |
URI: | http://idr.uin-antasari.ac.id/id/eprint/29994 |
Actions (login required)
![]() |
View Item |