Haikal, Muhammad (2023) Pandangan Hak Asasi Manusia dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 87/PUU-XX/2022 Tentang Mantan Narapidana Korupsi Mencalonkan Diri dalam Pilkada. Skripsi, Syariah.

	Text PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN - Haikal.pdf Download (99kB)
	Text Awal Skripsi-Haikal.pdf Download (719kB)
	Text ABSTRAK Skripsi.pdf Download (128kB)
	Text BAB I Skripsi.pdf Download (295kB)
	Text BAB II Skripsi.pdf Restricted to Repository staff only Download (354kB)
	Text BAB III Skripsi.pdf Download (208kB)
	Text BAB IV Skripsi.pdf Download (87kB)
	Text DAFTAR PUSTAKA Skripsi.pdf Download (172kB)
	Text LAMPIRAN Skripsi.pdf Download (1MB)

ABSTRAK

Pemilihan umum merupakan bagian terpenting dalam negara yang menerapkan sistem demokrasi, demokrasi yang sehat akan menciptakan pemilihan umum yang sehat. Pemilihan umum yang sehat mulai dari penyelenggaraannya hingga aturan hukum yang mengatur masalah pemilu semata-mata mementingkan kepentingan rakyat. Sehingga dengan hadirnya pemilu dapat melahirkan keadilan dan kesejahteraan untuk masyarakat yakni lahirnya pemimpin dan wakil-wakil Rakyat yang jujur serta terbebas dari KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) dan kejahatan-kejahatan yang lainnya. Jenis penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah hukum normatif dengan pendekatan kualitatif studi pustaka. Peneliti melakukan penelitian ini dengan studi pustaka melalui beberapa referensi yang memadai. Pada Putusan MK Nomor 87/PUU-XX/2022 yang memberikan persyaratan untuk exs terpidana korupsi bahwa pada putusannya telah secara jujur dan terbuka mengumumkan terkait statusnya sebagai mantan narapidana korupsi, tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lebih dari lima tahun, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu lima tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang profil dirinya sebagai mantan narapidana, serta bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang. Pada Pandangan Hak Asasi Manusia pencabutan hak politik mantan narapidana dalam perspektif hukum positif tidak bertentangan dengan UndangUndang Dasar Tahun 1945. Akan tetapi jika di tinjau dari teori pemidanaan gabungan maka pencabutan hak politik mantan narapidana tidak bisa diberlakukan karena seseorang terpidana sudah menjalankan hukuman yang bersifat absolut/pembalasan dan teori relatif (perbaikan perilaku).

Actions (login required)

View Item